Cerpen: Asap
Kembang api yang meledak-ledak di langit malam terlihat begitu sedih.
Lemas. Layu. Sinar ledakannya tidak begitu ceria. Sebab, hanya pemegang
semang mesiu yang menyulut sumbu sekaligus melihat ledakan kembangnya.
Itupun hanya mengerling dan mengedip dengan cepat untuk menghindari mesiu
yang lepas dari cangkang udara. Perayaan hari besar yang paling sepi dari
tahun-tahun sebelumnya.
Jutaaan orang memilih untuk tetap di rumah, menutup pintu, tapi tak sampai menguncinya. Motor, mobil yang biasanya dipacu antarkota-provinsi, hari ini dikandangkan. Rumah ke rumah terlihat sepi, tapi bukan berarti tak ada silaturahmi. Lihat, layar smartphone benar-benar menunjukkan tajinya. Betapa besarnya pengaruh internet di masa pageblug ini. Dari generasi Alpha, Z, Y, X, sampai Baby boomers mengoperasikan gawai super pintar itu.
Generasi baby boomers mendapat panggilan oleh cucu-cicit-canggahnya yang
seorang generasi Alpha. Tawa-batin heran generasi baby boomers,
kok bisa kelihatan ya, padahal di seberang pulau. Senyum lebih manis
dan tawa lebih lebar setengah terbahak oleh generasi Y dan Z,
hai, bu, pak, nek, mbak. Apa kabar di sana? Baik-baik saja, kan? Sehat,
kan?
Antusias. Maaf lahir batin, ya? Banyak dari mereka tahu dan paham
kata formalitas itu. Mereka paham, tapi belum tentu merasakan. Kemudia
menekan tombol merah. Hening. Sepi kembali. Pintu rumah tetap tertutup,
jamuan tetap tak berkurang, kursi tetap dingin, walaupun baru saja seperti
ada tamu.
Paling tidak ini yang akan aku ceritakan padamu tentang zaman ini. Semuanya
serba ringkas, tapi penuh resiko. Semoga kabarmu selama di sana tetap baik,
dan pemilikmu menjamumu dengan baik. Sudah sepantasnya, karena kau adalah
makhluk terbaik. Dan, aku mengucapkan maaf kepadamu, karena tidak bisa
berkunjung syawal ini. Semoga kau memahami bahayanya pageblug ini.
Baca juga: Pusara Tanda
Bukan hanya maaf karena tak bisa berkunjung, aku juga akan mengantar maafku
atas beberapa dosaku padamu. Tak sedikit memang, tapi berlebihan jika
dikatakan banyak. Mungkin juga beberapa bait cerita, hanya sekedar untuk
berlama-lama denganmu. Menemani saat-saat konyol ini.
***
Giri-giri...
Aku mulai gugup, bulu kudukku setengah berdiri.
Akhirnya kau datang juga.
Aku ingat siapa yang lebih dulu memiliki gawai. Kau lebih kecil dariku,
tapi lebih dulu memilikinya. Namun, aku yang lebih dulu membuat kesalahan
dengan gawai itu.
Ini belum aku ceritakan sebelumnya, mendekatlah, persis di sebelah
kursiku, sebelum kulanjut. Aku membawa gawai itu ke sekolah dengan alasan untuk mengerjakan tugas.
Bapak memang tak mengizinkan sebelumnya, tapi dengan alasan itu, aku bisa
mengambil alih gawai itu dari tanganmu. Dan kau seperti si polos yang tak
tahu apa-apa. Pilon.
Kau pasti ingat ketika gawai itu disita guruku, dan alasannya? Sebenarnya
bukan itu alasan sebenarnya, dan bukan aku yang melakukannya. Sebelum
penyitaan itu, gawaimu kugunakan untuk mengakses facebook, karena itu
satu-satunya bisa terlihat keren dan memiliki kenalan luas.
Celakanya mulai dari sini. Temanku meminjam gawai itu. Katanya untuk
menonton film, mumpung ada wifi di sekolah, gratis, katanya. Tak
disangka-sangka, di hari pertama aku meminjam gawaimu, hari itu juga operasi
gawai diadakan. Belum selesai film ditonton, aku minta gawai itu dari tangan
temanku, kusembunyikan di laci meja dengan banyak kertas di dalamnya.
Bodoh, guruku bukan keledai dungu, ia pasti tahu penyembunyian klasik
ini, gerutuku. Ya, kau tahu akhirnya: gawaimu disita dan bisa kembali jika orang
tua yang mengambil.
Aku mengabarimu ketika gawaimu disita sepulang sekolah, dan mengabari bapak
untuk menghadap guruku supaya gawaimu kembali. Aku melihat raut muka bapak
agak kecewa, tapi dia seperti sadar itu konsekuensinya mengizinkanku membawa
gawai. Ia berjanji akan datang ke sekolah esok hari. Kabar itu membuatku
tenang, gawaimu besok aku kembalikan, begitu kataku padamu sambil
seloroh.
Kenapa kau ketawa lirih? Itu belum kesimpulan, belum selesai, dan kau
tidak tahu akhir ceritanya. Memang gawaimu tak kembali, paling tidak
biarkan aku selesaikan ceritanya.
Paginya, bapak ke sekolah dengan motor 2 taknya, tebeng depan yang sempal
separo, jognya yang mengelupas kulitnya, dan roda yang keduanya halus-tipis
seperti pelepah pisang setelah dua tahun tak diganti. Aku tenang, tapi
berkerumun dengan khawatir, karena satu temanku mengatakan gawainya tidak
dapat kembali.
Ini sebabnya kenapa gawaimu tak kembali: bapak tak mau mengambilnya.
Jual saja pak buat kas sekolah, katanya.
Paling juga sekarung beras tak bisa dibeli dengan gawai itu, pikirku
meledek. Tapi bukan itu, bukan kemurahan hati bapak kenapa gawai itu
diserahkan sekolah.
Iya, sepulang sekolah hari itu aku kacau, bapak juga, ibu juga terisak
menahan tangis, bingung membela siapa. Dan, kau, duduk seperti sekarang
ini pada waktu itu, polos, tak tahu apa-apa.
Kata bapak, gawaimu berisi vidio porno, ada tiga katanya. Pikirmu bapak
meminta klarifikasi? Tidak, dia menamparku seperti saat ia membatalkan salat
tiba-tiba ketika mengetahui aku di belakangnya, ya, karena aku tidak ada di
tempat ngaji malam itu.
Kau tahukan gawaimu sempat dipinjam temanku? Aku curiga temanku yang
mengisinya. Dan kau, baru aku kasih tahu malam ini.
Kau jangan hanya menertawakanku saja, kau senang pipi dan telingaku koyak
waktu itu? Lagi pula, apa salahnya nonton vidio porno? ... Benar juga
katamu, salahnya adalah ketahuan, kalau tak ketahuan itu tidak akan pernah
menjadi salah. Sial, betapa tabunya porno di mata masyarakat.
***
Kaf... ha’... ya’ ... ‘ain... shad...
Jangan buru-buru pergi, aku masih kuat bercerita. Aku yakin ini kunjungan
pertamamu ke Jogja. Jadi, bertahanlah sebentar lagi.
Baca juga: Marni: Kemuliaan yang Terenggut
Kita memang tak banyak bicara sebelumnya, itu tipemu, dan tipeku juga. Kita
seperti butuh proses yang sangat lama sekali untuk bisa akrab dengan orang
baru, tapi akan banyak polah jika sudah kenal lama. Ya resikonya banyak
orang yang memberi kesimpulan: pendiam; soliter; individualis; sombong,
sebelum mereka mengenal kita.
Kau belum aku ceritakan betapa terpukulnya batinku ketika mendengar suara
sirine pada hari itu.
Hei, ayolah, aku bukan orang yang benar-benar tidak peduli dengan
keluarga. Begitu juga denganmu...
![]() |
bangkitmedia |
Bukan, ini hanya mata yang mengandung air, bukan air mata. Merahnya juga
karena saraf yang menegang, bukan menahan pedih. Apa aku terlihat
secengeng itu? Jangan meledekku, walaupun hari-harimu lebih kuat
dariku.
Waktu itu aku merasakan sedikit keanehan dengan dirimu. Kau memang biasanya
tak mau turun dari motor ketika berkunjung waktu lebaran. Bahkan orang-orang
bilang: Itu mbaknya kok ndak sedewasa adiknya? Mereka kira kau
kakakku, meskipun tinggimu hampir menyamaiku, tetap saja tidak bisa
menggeserku sebagai anak ketiga.
Oh, iya, waktu itu aku anak kedua, naik tingkat. Kakak kedua kita sudah
lebih dulu mangkat. Kau sudah bertemu dengannya? Semoga kabarnya baik.
Lain kali kita akan ngobrol bertiga, di sini.
Aku melihatmu lemas ketika unjung-unjung kita sampai pada rumah
saudara di Sumberjo. Namun, kau bersikeras tetap berdiri, dan menolak untuk
dibilang sakit. Kalau tak dipaksa oleh ibu, kau juga tak akan turun dari
motor, dan waktu itu memang panas cuacanya. Aku akan menyalakmu bodoh kalau
saja kau bertahan di motor dengan cuaca sepanas itu.
Aku mengenalimu, kau malu ketika orang tahu kau sakit, kau tak mau psikismu
terganggu, merusak mentalmu, merusak imunmu. Sehat, begitu katamu
tanpa ragu dan sedikit melengos, mungkin karena kesal olokan bapak.
Ayo pulang!
Kau paling gesit menaiki motor, bahkan sebelum aku, sebagai sopir, menyentuh
tuasnya. Kalimat itu memang kau nanti-nantikan sebelumnya, menjelma angin
yang bertiup dari bawah sarung. Silir.
***
Malam itu, di atas rumah kita seperti sedang ada perkumpulan mega gelap
dengan tangan petirnya yang menyambar-nyambar. Menghimpun kutukan yang siap
dijatuhkan tepat di atas keluarga kita. untuk yang kedua kalinya. Dan
lantainya, seperti memuntahkan air bercampur belerang yang siap membunuh
kita secara perlahan.
Tolonglah, kau jangan mulai lagi. Aku tidak sedang hiperbolik, juga bukan
lebay. Dengarkan sejenak, ini tak akan lama. Aku akan beri tahu bagaimana
bentuk bayang orang lewat mimpiku di hari ketujuh kemangkatanmu, yang hari
ini menjadi biang kekacauan...
Kau mengerang kesakitan dengan sedikit rasa malu karena terlihat lemah. Itu
bagian dari sifatmu yang aku benci, karena keras kepalamu, aku jadi harus
berusaha lebih kuat darimu. Secara, kau adalah adikku, perempuan pula.
Sedikit merasa maskulin juga perlu. Dan, pada akhirnya kau mengakui
sakit, lemas, tak doyan makan, semuanya pahit. Malam itu juga kau
digelandang ke rumah sakit, untuk pertama kalinya.
Kira-kira tiga bulan penyakit itu hinggap di tubuhmu. Ketika kabar dokter
tentang penyakitmu didengar oleh bapak dan ibu, aku dan mbak juga,
sekeluarga panik. Tetangga sedikit panik, saudara panik pula. Bapak
memutuskan mencari obat, dari herbal sampai modern, dari fisik sampai
metafisik. Mungkin bapak belum menceritakan tentang air doa untukmu yang
hilang, di Jogja, menuju pulang. Betapa terpukulnya bapak, ibu, mungkin aku
juga. Kenapa Tuhan begitu masa bohohnya dengan orang pesakitan. Tapi, aku
tak habis pikir kenapa bapak masih menganggap Tuhan itu baik.
Apakah kau tahu, bapak kehabisan ongkos pulang dari Jogja ke Semarang.
... Itu juga blundernya tak memberitahu ibu tentang perjalanannya.
Penyakitmu sudah stadium empat kata dokter. Sempat mereda, tapi akhirnya
tubuhmu koyak lagi. Dan kau sempat-sempatnya memanipulasi rasa sakit dengan
sok bijakmu yang membuatku layu. Sebuah kebab berisi daging sapi yang ku
bawakan adalah bentuk layuku,
bodoh, dia tak boleh makan campuran micin, gerutuku waktu itu di luar
kamar rumah sakit. Aku tenang saat ibu bilang dia yang makan kebabnya. Ya,
memang seorang ibu mengedepankan rasa daripada paham. Dan itu lebih bisa
memperpanjang umur orang.
Aku tak bisa berbuat banyak dengan penyakitmu. Aku diminta untuk selalu ke
sekolah, kata bapak agar bisa lulus UN, pantas untuk daftar kuliah. Aku
sempat tanya kepada temanku soal daun sirsat dan daun jati merah untuk
penyakitmu. Kabar baik disampaikannya, katanya ia tahu soal itu. Rencananya
aku akan mencarinya sepulang sekolah, entah jalan kaki atau naik trayek.
Kabar baik itu sempat terusik oleh panggilan guru,
kakakmu ada di bawah, sepertinya diminta untuk pulang, bawa tasmu
sekalian. Aku turun ke kantor sekolah. Mas Luq sudah menanti di bawah, wajahnya
membuatku ikut curiga, tapi aku tetap berpikir positif. Siang itu aku
hengkang dari sekolah menuju rumah. Kubatalkan rencana mencari daun sirsak
dan daun jati merah.
Hampir sampai rumah, tapi aku heran kenapa mas Luq ragu-ragu masuk gang,
padahal aku sudah tidak betah berada di belakangnya. Seperti biasa, ia masih
di pasar jagal sapi sebelum menjemputku. Juga membuatku semakin
khawatir.
Aku langsung ke kamar, tak ada siapa-siapa. Bapak, ibu, mereka tidak di
rumah, hanya ada mbak yang terbaring mengandung keponakan kita. Lama aku
terdiam, pikiranku kacau, aku tak mau memulai suasana pedih, tak mau menebak
takdir.
Apa boleh buat, tak lama setelah pantatku menempel di kasur, suara sirine
lamat-lamat mendekat. Dari situ aku menebak takdir, sirine lebih nyata dari
takdir, lebih garang dari Izrail. Aku tak butuh bisikan seorang untuk
mengetahui takdirmu. Suara sirine dan erangan mbak yang tubuhnya ditahan
beberapa tetangga sudah cukup membuatku membaca tanda.
Ini hanya dua tetes dari dua mata, tak cukup untuk mengatakan kausku
basah. Kau jangan mengolokku cengeng, apakah semua perempuan semenyebalkan
ini, sekalipun dalam rupa asap?
Erangan dan sirine memancing tanganku memukul lemari cermin, kasur, dan
lebih sering kepalaku. Aku berontak, bukan protes kepada keadaan, tepatnya
menggugat kebodohan diriku, memukul otak dunguku, menghardik
ketakbergunaanku. Sebelum akhirnya tetanggaku menahanku juga, menenangkanku,
mengantarku menemuimu yang terbujur kaku berselimut mori. Kau sakral, dan
aku profan.
Baca juga: Kepompong Malam
***
Kau menanyakan soal orang dalam mimpiku di hari ketujuh mangkatmu?
Bukankah kau sudah tahu? Bukankah kau selalu mengawasi selama tujuh tahun
ini?
Ya, betul. Itu namanya. Aku tak perlu menjelaskan. Aku sempat
menceritakan pada ibu, tapi aku menarik ceritaku dengan alasan itu hanya
mimpi. Untungnya aku belum menyebut namanya.
***
Tho’...
Ini sudah waktunya kau kembali. Ceritaku habis. Apalagi yang ingin kau
dengar?...
![]() |
inspirasidata.com |
Tidak untuk membicarakan perempuan-perempuan itu. Aku tidak berminat
untuk membahas perserikatan lawan jenis. Paling tidak untuk beberapa tahun
ke depan, kau sudah tahu dosa-dosaku? Tuhan mungkin masih melihatku dengan
menyeringai bengis.
Iya, lain kali akan aku ceritakan itu, soal dua perempuan lalu. Kita akan
berbicara bertiga dengan menyan dan dupa yang lebih harum, juga malam yang
lebih gelap.
Oh, iya. Kemarin bapak-ibu memberi kabar kalau di rumah sepi. Mbak
bersama suami dan anak-anaknya ke rumah eyang. Bisa sampe dua-tiga hari.
Bayangkan betapa sepinya rumah hanya ditempati merka berdua ditemani tua,
tak ada tamu. Kuharap kau juga menemui mereka malalui bunga tidur.
***
Tho’... ha’... kaf... lam... mim... nun...
Selamat jalan, semoga Tuhan memberikan hakmu sebagai makhluk terbaiknya.
Satu yang tak kuceritakan, bahwa catatan pribadimu yang membuatku bertahan
sampai hari ini. Sebulan setelah kemangkatanmu, catatan itu kutemukan di
tumpukan kertas. Coretan dengan banyak kata abstrak, tapi bermaksud. Aku
mengira kau menulisnya menjelang sekarat. Sengaja tak kuceritakan, aku benci
mengakuinya, kau selalu lebih inspiratif dariku.
-6 Juni 2013-
"Aku ingin menjadi berguna, dengan tubuh apa adanya, dengan nyawa seberapa lamanya. Aku terus menolak mati sebelum berguna."
Sekarang kau berguna, kau mati dengan layak, selayak-layaknya.
Yogayakarta, 25 Mei 2020
COMMENTS