Oleh: Elman Nafiah
*Oleh: Elman Nafiah
Saya tak mengerti, mengapa harus Islam
yang pertama kali bakal muncul dipikiran ketika saya bicara tentang beragama.
Setidaknya cara ini pernah saya pakai hampir berulang kali kepada teman-teman
di lingkar tongkrongan. Seringkali saya disela karena mereka bakal berkata,
"lho, agama kan bla bla bla." Ya, saya tahu persis yang dimaksud
teman saya adalah Islam, bukan lainnya.
![]() | ||
source: mimbarberita.com |
Tetapi kemudian, bukan berarti
saya menggeret Islam menjadi agama yang sok berkuasa. Saya beragama Islam, dan
sama halnya dengan apa yang pernah disampaikan Bung Karno, bahwa saya
mendapatkannya secara askripsi. Lagipula yang namanya askripsi, jelas
bertentangan dengan yang namanya prestasi atau sebutan hasil yang lain. Jadi,
tidak ada cerita heroik maupun pertentangan keras kepada diri sendiri, sehingga
mantap menjadi seorang muslimah.
Saya menjadi muslimah yang
sewajarnya. Saya juga menyadari bahwa di bulan suci maupun di hari fitri kali
ini saya tetap tak muslim-muslim amat. Tetap malas mengkhatamkan kitab
suci meskipun ramadan, tetap keliling komplek dan bersilaturahmi. Ada rasa
syukur karena tidak harus mengutuk pandemi setelah mendengar kabar saudara yang
tidak bisa mampir ke rumah, lebih-lebih mensyukuri karena mampu melewati
ramadan dan lebaran dengan baik-baik saja.
Baca juga: Sikap Tan Malaka Terhadap Perkawinan
Tetapi orang-orang merusaknya
dengan keributan. Lagi-lagi menimbulkan
banyak pertanyaan yang kalau saya sendiri tanyakan ke orang lain mungkin bakal
kena amukan. Ya apa boleh buat, kalau ada keramaian wajar kan kalau spontan
bertanya?
Beberapa hari kemarin media sosial
ramai. Meskipun hari-hari mendekat sebelumnya juga tak kalah ramai, tetapi saya
muak dengan beberapa hari lalu. Ketenangan saya terganggu, dan gagal bersyukur
karena masih bisa makan meskipun sedang pembatasan spasial. Kenapa hobi sekali
baku hantam ala-ala anak sekolah yang tinggal lapor orang tua bisa aman?
23 Mei, adalah hari yang saya
maksud. Hari milik Partai Komunis
Indonesia (PKI), yang tepat di satu abad kelahirannya. Andai bisa berkeliaran,
minimal saya bakal nongkrong bersama teman-teman dan membicarakan banyak hal
soal partai itu. Tapi tidak. Mustahil sekali dalam bagian 24 jam tidak membuka
media sosial.
Meskipun dapat diingat setiap
tahunnya, pembunuhan PKI (yang senyatanya sudah mati) tidak sesimpel mengguyur panas
setahun dengan sehari hujan. Lebih dari itu, pemberantasan komunis menggandeng
peralatan subsistem dari kehidupan, semisal diskursus soal konflik PKI dengan
budaya tertentu, dengan daerah tertentu, sampai dengan agama tertentu. Penyandingan
dengan agama ini yang saat ini menjadi wacana dominan, membentuk jejaring kuasa.
Jadi, bisa dipastikan semua orang yang merasa kepentingannya dibawa-bawa dengan
terpaksa susah mencari kebenaran PKI.
Saya pribadi, muak ketika agama
masih jadi alat paling tajam untuk membunuh hantu PKI. Apa tokoh-tokoh agama
itu tidak bisa menolong umat beragama?
Sebagai contoh, beberapa penulis
melayangkan pandangannya tentang kemiripan antara Islam dan komunisme—sebagai
ideologi. Sebagian yang lain mengutip beberapa tokoh untuk menyatakan bahwa,
selain mereka Islam, mereka juga komunis. Tetapi kemudian, apakah agama kurang
kuat hingga harus membutuhkan penguatan komunisme? Apakah agama selemah itu
hingga harus disandingkan dengan komunisme?
Kalaupun jawabannya adalah ya,
penjelasan tersebut justru membuat umat beragama semakin membenci PKI. Mereka
akan memandang PKI menutupi kesalahannya selama ini di dalam lindungan
kebenaran agamanya. Kalaupun jawabannya tidak, memungkinkan mereka berada dalam
kesadaran naif. Kesadaran yang membawa mereka merasa bahwa agama dan komunisme
tidak seharusnya terlalu dipertentangkan. Atau dalam kesadaran kritis, di mana
menyadari bahwa agama dan komunisme adalah sama-sama memiliki agenda
perjuangan, tetapi tersendat karena pertentangan komunisme-agama. Atau,
jangan-jangan agama dan komunisme sejalan?
Dalam contoh yang lain, media
terang-terangan membasmi PKI agar peristiwa kelam di masa lalu tidak terulang.
Dengan pembeberan beberapa peristiwa, rentetan kejadian versi kaum kontra
seakan menakut-nakuti dan mengancam masa depan umat beragama.
Baca juga: Awas Nanti Jadi Polisi
Apakah para agamawan itu tidak
merasa tersinggung ketika agamanya dipakai untuk membenturkan yang bukan
semestinya? Atau, mereka justru terbantu berkat hantu PKI ini? Kalau memang ya,
jadi agama hanya soal panggung? Apa menjadi pengikut agama itu individualis, di
mana selama kebutuhan beragama kita terpenuhi maka cukup untuk tidak mengurusi
hal-hal yang lain? Selama ayat-ayat jadi komoditi, seperti wacana pemberian
insentif kepada ustad-ustad karena 'job'nya hilang selama pandemi?
Soal menguatkan keimanan. Seringkali
saya merasa sedang mengaji melalui masyarakat yang pernah dikriminalisasi
karena mempertahankan hak-haknya. Semisal, ketika Yu Gunarti sebagai kartini
kendeng dalam peringatan hari bumi bercerita soal perjuangannya. Beliau
mengatakan, "banyu nek gak urip yo gak bakal iso nguripi".
Sambil beliau melanjutkan, pikiran saya mendekil. Berarti ketika menggunakan
air cuma-cuma, apa kita termasuk bagian yang mencabut air dari hak hidupnya?
Betapa bajingannya saya yang memakai kran air hanya untuk bersenang-senang.
Barangkali itu pula alasan masyarakat kendeng tidak menggunakan kran agar
mengambil air seperlunya.
Begitupun dengan PKI sendiri,
mudah saja sebetulnya menebak kondisi ketika bahaya PKI diputar ulang. Persis
kondisinya seperti lampu merah yang disetel satu menit di tengah terik
matahari, menjelang lampu hijau terdapat pengendara yang meninggalkan asap
pekat ke pengendara yang lainnya, sehingga mengaburkan konsentrasi untuk
kembali jalan. Pemilik asap beracun itu gak peduli pengendara lainnya
batuk-batuk atau mata merah, yang penting bahan bakarnya sesuai dengan yang dia
inginkan. Lebih-lebih persetan dengan apa saja, pokoknya jalan saja terus.
Jadi, kira-kira apa yang
diinginkan para pengasap hantu PKI kemarin itu? Saya pikir tak perlu menebak
satu per satu, karena memang banyak masalah yang harus dikasih asap beracun,
lantas memuluskan rencana pemburu rente tanpa harus sembunyi-sembunyi. Justru
kitalah yang diperangkap agar mereka tak perlu mengendap-endap, seperti siaran
pengesahan UU Minerba kemarin.
Baca juga: Memahami Kartini di Era Posmodern
Keimanan barangkali bisa kita
temukan dimana saja. Saya bersyukur menjadi bagian kawan-kawan yang berorasi
tentang perampasan hak-hak hidup dan tak meninggalkan salawat asyghil
dalam setiap kesempatan orasinya. Bahwa kami sedang berlindung dari kejahatan
dan kezaliman, termasuk pembodohan.
Terakhir, satu-satunya upaya agar
bangkit dari kepayahan beragama adalah menyelamatkan diri sendiri dan lingkaran
terdekat dari narasi-narasi pembodohan beragama, bahwa dihadirkannya agama atau
tidak dihadirkannya sama sekali merupakan upaya pengendalian agama, seperlunya.
Tentang Penulis:
Elman Nafiah
Mahasiswa semester akhir.
Teman karib tenggat dan sepian.
Twitter : @inaf_12
COMMENTS