praktik FGM telah terbukti merugikan salah satu jenis kelamin: perempuan. maka dari itu, praktik tersebut harus diakhiri, karena tidak memberi manfaat
![]() |
Khitan atau sunat
merupakan suatu ritual sakral, biasanya diikuti dengan upacara, syukuran dan
perayaan yang menandai seorang anak laki-laki telah akil baligh (islam). Begitu juga dengan sunat
perempuan, merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat yang praktiknya sama
dengan laki-laki yaitu memotong sebagian alat kelamin (klitoris), namun berbeda dari segi manfaat
dan usia pemotongan.
![]() |
worldpulse.com |
Menurut WHO,
terdapat sekitar 140 juta gadis di dunia dengan memiliki konsekuensi disunat.
Bahkan di Afrika sendiri, setiap tahun terdapat 3 juta gadis yang berisiko di
sunat [WHO: 2008, h. 4]. Dengan begitu, hak gadis di Afrika
terhadap tubuhnya sudah terreduksi. Belum lagi dihadapkan dengan permasalahan
kesehatan yang akan terjadi di
masa depan
mereka.
Baca juga: Ceramah: Antara Pesan Moral dan Teror, Keduanya Sama Saja
Sedangkan di
Indonesia, sunat perempuan
diatur dalam Permenkes Nomor 1636/Menkes/Per/XII/2010 Tentang Sunat Perempuan. Namun kemudian, berdasarkan Permenkes No.
6 Tahun 2014 aturan sunat perempuan tahun
2010 dicabut. Selanjutnya
permenkes meminta Majlis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk
menyelenggarakan sunat perempuan yang aman serta tidak melakukan mutilasi pada
kelamin perempuan.
Menurut wakil
Menkes, Ali Qufron Mukti, sunat perempuan tidak ada manfaatnya dan sunat ini
berbeda dengan sunat perempuan di Afrika. Sunat perempuan di Indonesia
bertujuan untuk mengekang seksualitas perempuan, sehingga perempuan tidak bisa
menikmani tubuhnya secara penuh. Namun, menurutnya juga tidak
ada sanksi bagi tenaga medis yang melakukannya, karena tidak ada aturan yang melarang [voaindonesia.com].
Berdasarkan aturan di atas, pemerintah
Indonesia tidak serius dalam melindungi
tubuh perempuan. Tubuh perempuan masih berpotensi untuk dikontrol oleh budaya tradisional yang masih memeiliki watak
patriarki. Maka perlu dipertegas lagi mengenai hak asasi manusia untuk perempuan,
bahwa setiap orang berhak atas tubuhnya sendiri.
Sekilas: FGM Menurut Agama
Ibrahim
Dalam ajaran
agama Ibrahim, sunat sudah diatur dalam kitab suci mereka. Dalam agama Yahudi, misalnya, sunat diatur dalam Genesis 17: 11-12. Di dalam kitab Taurat hanya mewajibkan sunat untuk
anak laki-laki Yahudi. Sedangkan untuk sunat perempuan tidak dijelaskan. Menurut
Oxford Dictionary of Jews Religion, sunat perempuan tidak pernah
diijinkan untuk perempuan Yahudi [el-Damanhoury: 2013, h. 128].
Namun ada sebagian kelompok minoritas Yahudi
yang hidup di Ethiopia melakukan ritual FGM.
Mereka adalah kelompok imigran yang biasa disebut “Falashas” atau “Beta
Israel.” Mereka dipercayai telah terisolasi dan teraniaya selama
bertahun-tahun, sehingga tidak bisa berbicara atau membaca Hebrew
(Bahasa Ibrani), karena tidak mendapat informasi atau akses ke sumber-sumber
kitab mereka.
![]() |
rochdalonline.co.uk |
Hasil dari
wawancara dengan Falashas yang melakukan FGM
menyatakan, bahwa mereka melakukan FGM tidak ada kaitannya dengan agama, melainkan karena niat untuk tidak bersetubuh sebelum
menikah. Mereka juga mudah untuk meninggalkan kebiasaan FGM ketika sudah
bermigrasi ke Israel [ibid., h.
128].
Selanjutnya, sunat
menurut agama Kristen sebagaimana tersebut di dalam Bibel Lukas 2: 21. Penjelasan
tersebut hanya berlaku pada laki-laki, dan sulit menemukan literatur yang
menerangkan FGM. Namun, otoritas Kristen dengan jelas
menyuarakan, bahwa FGM tidak memiliki dasar dalam teks-teks agama Kristen.
Meskipun begitu, ada beberapa kelompok Kristiani yang melakukan FGM, misalnya
di Mesir, Tanzania, Nigeria dan Kenya. Bagaimana pun, menurut otoritas Kristen,
FGM adalah ritual yang tercipta melalui campuran budaya, sosial dan agama [ibid., h. 129].
Dalam agama
Islam, FGM menjadi pembahasan yang serius. Ketertarikan masyarakat pada
teks-teks agama sangat tinggi, bahkan minat untuk menyakralkan
teks cenderung lebih dulu muncul daripada mengkaji manfaatnya. FGM bisa ditemukan di
dalam hadis Abu Dawud no. 5271:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ الأَنْصَارِيَّةِ، أَنَّ امْرَأَةً، كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِينَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم : لاَ تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْلِ
Hadis di
atas menerangkan bahwa ada seorang wanita melakukan sunat di madinah, kemudian
Rasulullah SAW memperingatkan agar jangan memotong semua bagian klitoris
perempuan, karena kenikmatan seks yang diinginkan perempuan berada di sana dan
suami lebih menyukai perempuan yang masih memiliki klitoris.
Baca juga: Santriwati Melawan Hadis Misoginis
Namun hadis
tersebut dikomentari oleh Abu Daud, ia berkata bahwa ini
diriwayatkan oleh Ubaid Allah Ibn Amr tentang otoritas Abdul Malik termasuk da'if
(lemah), karena sanadnya terputus; dan Mohamed Ibn Hassan, salah satu perawi,
tidak disebutkan namanya. Bahkan sarjana kontemporer sudah melacak ulang hadis
tersebut, seperti Dr. Mohammad Lotfy Al Sabbagh, Profesor Studi Islam di
Universitas Riyad, Arab Saudi, dalam studinya tentang sunat perempuan
mengatakan: "Pertimbangkan dua imam terhormat, Abu Daud dan Al Irak, yang
telah menggambarkan Hadis tersebut lemah, dan mengabaikan mereka yang menganggapnya
asli ” [Mohammed S. Al-Awa: tt., h. 2-3].
Hasil analisa
Alamsyah, sekalipun status hadis tersebut da’if, tapi masih banyak ulama
yang mengamalkannya. Namun, mereka
tidak menganggapnya sebagai kewajiban secara tersirat ataupun tersurat.
Kalaupun Nabi pernah melakukan sunat perempuan, itupun bukan untuk diwajibkan, melainkan
karena pengaruh budaya yang sudah melekat di Madinah [Alamsyah: h. 122].
The
Islamic Shari’a Council, the Muslim College and the Muslim Council of Britian (MCB) telah
mengutuk praktik FGM dalam masyarakat Muslim. Mereka berpendapat tidak ada
refrensi tentang FGM di al-Quran, dan FGM adalah tradisi yang ada sebelum
Islam. Praktik tersebut hanya akan memperburuk Islam sebagai agama
[forwarduk.org].
Terlepas
dari kualitas hadis yang lemah dan tidak adanya legitimasi dari al-Quran, praktek
FGM harus dipahami secara scientific dan sosial. Bukan berdasarkan tradisi
yang sebenarnya akan mengancam kebebasan berekspresi. Selanjutnya, hukum yang
dikeluarkan untuk menyikapi FGM harus berdasarkan pada pemahaman sosial dan
medis yang akurat, dan interpretasi dari praktik serta penerapannya dari
putusan hukum yang berasal dari sumber yang diterima, yaitu Alquran, Sunnah,
Ijma' dan Qiyas [Mohammed S al-Awa: h. 9].
Berkaitan
dengan produk hukum, ahli hukum seharusnya tidak hanya memiliki pengetahuan
tentang fiqh dan syari’ah saja, karena ucapan ahli hukum itu bukan “syaria”
atau “agama”. Banyak dalam fiqh dan
hadis berbicara mengenai obat-obatan, nutrisi, pakaian dan sejenisnya.
Berbicara non-agama, Nabi (SAW) memberikan
contoh yang baik ketika ia memerintahkan umat Islam untuk meninggalkan
penyerbukan pohon-pohon palem ke alam, dan ketika
pohon-pohon itu tidak menghasilkan buah sebanyak yang diharapkan, ia berkata:
"Anda memiliki lebih banyak pengetahuan tentang urusan duniawi Anda.”
Atas dasar itu, ahli hukum harus
menganggap pengetahuan orang tentang permasalahan dunia sebagai kebenaran
selama tidak melanggar ketentuan yang otentik. Hukum ditetapkan setelah
mempertimbangkan pendapat medis dan ilmiah. Jadi, pendapat
ahli hukum menyesuaikan pendapat dokter, bukan sebaliknya [ibid., 7-8].
Peringatan
HAM dan Medis terhadap Praktik FGM
Menurut WHO, FGM secara internasional diakui sebagai pelanggaran
terhadap hak asasi manusia, dan merupakan wujud
ketidaksetaraan antarjenis kelamin. Ada empat tipe
FGM [Claudia G, Alessandra G, and Wendy K: 2012, h. 1], yaitu:
Tipe 1- Klitoridektomi: pengangkatan sebagian atau total klitoris (bagian
kecil, sensitif dan ereksi pada alat kelamin wanita) dan / atau dalam kasus
yang sangat jarang, preputium (lipatan kulit yang mengelilingi klitoris).
Tipe 2 - Eksisi:
pengangkatan sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora, dengan atau tanpa
eksisi labia majora (labia adalah 'bibir' yang mengelilingi vagina).
Tipe 3 - Infibulasi:
penyempitan lubang vagina melalui pembuatan segel penutup. Segel ini dibentuk
dengan memotong dan memposisikan kembali labia bagian dalam, atau luar, dengan
atau tanpa pengangkatan klitoris.
Tipe 4 - Lainnya: semua
prosedur berbahaya lainnya pada alat kelamin wanita untuk tujuan non-medis,
mis. menusuk, menusuk, mengiris, mengikis dan membakar daerah genital.
![]() |
thecontversation.com |
Jika dilihat dari perspektif HAM, praktik FGM mencerminkan ketidaksetaraan pada dua jenis kelamin
dan merupakan diskriminasi ekstrim yang dialami perempuan. Selain itu, karena
FGM selalu dilakukan pada anak di bawah umur, maka dapat dikategorikan sebagai
pelanggaran hak-hak anak; Yaitu perampasan
terhadap hak atas kesehatan, keamanan dan
integritas fisik orang tersebut; hak untuk bebas dari
penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat; dan hak untuk hidup ketika prosedur tersebut berakibat kematian [ibid., h.
1].
Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang
diadopsi di tahun 1948 menyatakan, “All human beings are born free and equal
in dignity and rights.” Pasal tersebut sebagai prinsip dasar tentang hak
asasi manusia yang menekankan campur tangan negara dalam menuntaskan
permasalahan pelanggaran HAM. Termasuk permasalahan pengucilan, ketidakadilan
dan kesejahteraan anak harus diprioritaskan oleh negara dan
organisasi-organisasi sosial masyarakat [UNICEF: 1999,
h. 6].
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim pada HKRS Perempuan
CEDAW telah
merekomendasikan program pendidikan untuk mengurangi stereotip dan prasangka.
Rekomendasi lain adalah penghapusan praktik tradisional seperti kekerasan dan
pelecehan dalam rumah tangga, pernikahan
paksa dan sunat perempuan. Menurut CEDAW, praktik budaya tidak bisa dijadikan
alasan untuk menghilangkan hak asasi manusia. Kebebasan atas tubuh harus
dilindungi dan dihargai, terutama membebaskan perempuan dari subordinasi
non-diskriminasi [Savitri
G; Rangita S.A:
2005, h. 32].
FGM jelas
sebagai bentuk politik tubuh (biopolitic) [Michel
Foucault: 2003, h. 243]. Anatomi tubuh perempuan dilihat oleh budaya sebagai
ancaman oleh salah satu jenis kelamin,
maka praktik
FGM dianggap mampu untuk mengontrol kehidupan sosial dengan menerapkannya pada
salah satu jenis kelamin, yaitu perempuan.
Kontrol sosial
yang dilegitimasi oleh tradisi atau budaya bahkan agama tersebut seakan
menunjukkan kelemahan salah satu jenis kelamin dalam mengontrol tubuh
seksualnya. Kemudian FGM dijadikan
legitimasi untuk menutupi kelemahan
atas kontrol seksualitas: laki-laki. Namun celakanya, efek dari praktik
FGM mengakibatkan masalah mental dan kesehatan perempuan serta ancaman kematian
pada bayi yang akan dikandungnya nanti.
Kesimpulan: FGM Harus Diakhiri
FGM adalah ritual yang
berasal dari percampuran budaya, sosial dan agama. Manfaatnya pun tidak
ditemukan, hanya tujuannya saja yang jelas ada, yaitu membatasi kontrol
perempuan atas tubuhnya. Pelaku FGM berdasarkan agama juga tidak bisa
dibenarkan. Hadis yang menyatakan perlunya FGM juga timbul dari budaya setempat
sebelum agama Islam datang. Bahkan hadis dari Abu Daud tersebut dinyatakan da’if oleh dia sendiri.
Hak asasi
manusia harus dipertahankan, FGM jelas merupakan pengkebirian HAM perempuan dan
anak. Alasan apa pun tidak bisa untuk
melegitimasi FGM, entah itu budaya, tradisi, ataupun agama. Pendapat medis
harus menjadi pertimbangan utama demi kehidupan yang aman dan bebas terjamin.
Begitupun campur tangan pemerintah, pelarangan terhadap FGM harus ada, dan pelanggarnya harus diberi sanksi yang membuat jera. Misalnya setiap negara
wajib meratifikasi keputusan CEDAW tentang bahaya FGM. Tujuannya
adalah untuk mengakhiri praktik FGM yang menodai kemanusiaan dan diskriminasi
gender.
Daftar
Bacaan
Alamsyah, “Memahami
Hadis Nabi Tentang Khitan Perempuan dari Perspektif Historis-Fenomenologis”, Journal of Pengembangan
Masyarakat: Ijtimaiyya, Vol. 7, No.1, 2014.
Claudia G, et all., Understanding
and addressing violence against women, (WHO, 2012).
El-Damanhoury,
“The Jewish and Christian View on Female Genital Multilation”, African
Journal of Urology, 2013.
Eliminating Female Genital Multilation: an Integracy Statement, (Switzerland: WHO,
2008).
Foucault, Michel, Society Must Be Defended, (trans.) David Macey,
(New York: PICADOR, 2003).
Human rights for children and women: How UNICEF helps make them a reality, (New York: UNICEF,
1999).
Nashiruddin, Muhammad A, Sahih Sunan Abu Daud, jilid III, (terj.) Tajuddin
Arief dkk., (Pustaka Azzam, 2002).
Savitri G; Rangita S.A., Women’s
and Children’s Rights in a Human Rights Based Approach to Development, (New
York: UNICEF, 2005).
Selim, Mohamed A., FGM in Context of Islam, (General
Secretary of the International Federation of Islamic Scholars, Cairo).
WEB
https://www.voaindonesia.com/a/peraturan-menteri-kesehatan-ri-soal-sunat-perempuan-telah-dicabut/1839905.html, diakses pada 15 Mei 2019, pada 21.30
WIB
FGM-Islam leaflet, supported by Muslim Spiritual Care Provision
in the NHS, The Muslim Council of Britain, Forward: Safeguarding rights &
dignity. support@forwarduk.org.uk
https://forwarduk.org.uk/wp-content/uploads/2014/12/FGM-Islam-Leaflet.pdf,
diakses pada
15 Mei 2019, pkl. 19.20 WIB
artikel ini pernah diterbitkan di egaliter.com pada 25 Mei 2019
COMMENTS