Ahmadiyah dengan perangkat kemanusiaannya menjadikannya bisa memasuki lorong-lorong kelompok tertindas.
Ahmadiyah merupakan kelompok minoritas agama di Indonesia yang memiliki kantor pusat di London. Di Indonesia sendiri Ahmadiyah terbadi ke dalam dua aliran, yaitu Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Sejauh literatur yang saya baca dan berbincang dengan Ahmadi (pengikut Ahmadiyah), perbedaannya terletak pada pengakuan Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi oleh JAI dan bukan nabi oleh GAI.
![]() |
ilustrasi: greatmind.id |
Hal paling menarik dari Ahmadiyah
adalah konsep khilafahnya. Bukan khilafah politik seperti yang lama berdengung di
Indonesia, melainkan khilafah yang terletak di rohani. Konsep inilah yang
menjadi pondasi utama setiap Ahmadi di ruang sosial dan spiritual. Berlaku
baik, cinta kasih tanpa membedakan ras dan suku adalah pokok dari khilafah
Ahmadiyah. Wujud khilafah di ruang sosial berupa “Humanity Firts”, sebuah
lembaga Internasional yang didirikan Ahmadiyah untuk merespon problem
kemanusiaan.
Di Ahmadiyah terdapat mubaligh yang
memimpin jamaah setiap daerah. Otoritasnya sangat kuat, hierarkis dan
administratif—saya menyebutnya otoritas legal (Weber), karena ada keputusan
legal untuk menjadi mubaligh. Setiap yang disampaikan khalifah (yang berada di
London), seperti ceramah, nilai, menyoal isu terkini, pasti turun sampai ke
mubaligh dan diikuti oleh jamaah. Dasarnya adalah khilafah tadi, letaknya
berada di rohani; ketika sudah dikatakan A, maka jamaah menerima A.
Konsep khilafah beserta Humanity
First dan otoritas legal tadi memancing saya untuk mengujinya di wilayah isu
sensitif. Saya coba mengambil isu minoritas seksual dan bagaimana respon
Ahmadiyah dengan berbagai perangkat kemanusiaannya tadi.
Flashback kepada gerakan feminisme gelombang
ketiga, di mana sesama minoritas, yaitu perempuan, minoritas seksual dan ras
kulit berwarna, mengalami opresi yang sama oleh sistem patriarki. Atas dasar
kesamaan nasib tersebut, isu perempuan, minoritas seksual dan ras bersatu dalam
satu gelombang perlawanan melawan sumber opresor.
Berangkat dari sejarah lalu, membuat
saya berasumsi: Ahmadiyah dan minoritas seksual memiliki ikatan emosional yang
sama, karena nasibnya yang selalu ditindas oleh sistem dan budaya, sehingga
keduanya bersatu melawan opresor. Akhirnya saya mewawancarai kawan lama saya
yang seorang mubaligh Ahmadiyah, dan membuka beberapa buku Ahmadiyah yang
bertebaran di website resminya untuk menemukan jawaban atas kegatalan pikiran
saya.
Pertanyaan: Bagaimana sikap Ahmadiyah terhadap
minoritas seksual?
Ali (mubaligh, nama samaran) menjawab,
dia pernah menerima seorang waria untuk mengikuti pengajian Ahmadiyah di
Semarang. Waktu itu, waria tersebut datang ke masjid Ahmadiyah dengan banyak pikiran
carut-marut perihal orientasi seksualnya untuk meminta bimbingan agama Islam. Tanpa
berpikir panjang, waria tersebut diterima untuk mengikuti setiap pengajian
Ahmadiyah.
Saya sempat menruh curiga apakah
penerimaan tersebut sebagai bentuk idiologisasi, kemudian memaksa merubah diri
ke heteroseksual. Namun, menurut Ali, tidak ada paksaan bagi pak Tono (waria,
nama samaran) untuk memilih salah satu jenis kelamin. Penampilannya memang
berubah, tapi orientasi seksualnya sampai saat ini tetap, dan masih berhubungan
baik dengan Ahmadiyah. Setiap melihat perempuan, pak Tono, tidak memiliki
ketertarikan seksual, ia selalu menganggapnya teman. Bahkan kami, lanjut Ali,
sering berkomunikasi dengan Pesantren Waria Yogyakarta.
Pertanyaan: Bagaimana dengan derajat minoritas
seksual dalam ajaran Ahmadiyah?
Ahmadiyah menolak diskriminasi
terhadap kelompok apapun, dalam hal ini minoritas seksual, dalam beragama.
Persoalan keislaman seseorang, menurutnya, berada dalam hati individu,
sedangkan kesempurnaan dalam amal memerlukan waktu dan terus menerus ditempa. Dia
menjawab berdasarkan filasat Islam Ahmadiyah, disebutkan bahwa ada tiga derajat
manusia. Pertama thabi’i, kedua akhlaki, ketiga rohani (dapat dibaca: Hadhrat
Mirza G. Ahmad, Filsafat Ajaran Islam, 2016:19).
Thabi’i merupakan keadaan seseorang belum
mendapat campur tangan Allah dalam kehidupannya. Maka yang terjadi pada tingkat
ini adalah seseorang tidak jauh beda dengan binatang. Akhlaki adalah
keadaan seseorang yang memperoleh campur tangan Allah dan memberi keseimbangan
pada kebiasaan seseorang.
![]() |
slogan Ahmadiyah, ilustrasi: freepick.com |
Keduanya bukanlah penggolongan tetap,
melainkan tingkatan yang memungkinkan setiap orang mencapai tingkat tertinggi,
yaitu rohani. Rohani merupakan keadaan seoorang yang menyerahkan diri
sepenuhnya kepada Tuhan secara sempurna, mengamalkan apa yang telah
diperintahkan Allah swt. dan Nabi Muhammad saw.. Dalam hal ini, orientasi
seksual tidak membatasi seseorang untuk mencapai tingkat rohani, karena nilai
utamanya adalah penyerahan diri.
Seperti kasus pak Tono, sebagai waria
ia tidak dihalangi untuk mencapai derajat rohani. Selama dia bisa membuat
dirinya berserah pada Allah, tingkat rohani tidak akan menutup diri untuk
dicapai seorang waria. Heteroseksual, homoseksual, semua orientasi seksual
tidak ikut terlibat dalam proses penyerahan diri. Hanya hati individu dan
Allah-lah yang terlibat dalam negosiasi.
Begitu juga kesempatan untuk menjadi
Ahmadi, lanjut Ali, tidak ada syarat harus merubah orientasi seksual. Semua
memiliki kesempatan yang sama untuk baiat (menjadi Ahmadi), selanjutnya proses tarbiyat-lah
yang menentukan jalannya. Sebagaimana tujuan adanya khilafah, yaitu
mendatangkan keamanan dan menegakkan ketauhidan, maka tidak ada alasan apapun
bagi Ahmadi untuk merugikan minoritas seksual.
Khilafah telah berfungsi sebagai
aspek asketisme yang bertalian dengan peran di dunia sosial. Fungsi spiritual
khilafah bukan menggiring seorang untuk meninggalkan duniawi, melainkan
mendorongnya untuk terus bekerja dan mendedikasikan sebagian pekerjaannya untuk
orang lain (dapat dibaca di buku: Abd. Aziz Faiz, Khilafah Ahmadiyah dan
Nation State, 2019:52-54).
Pada akhirnya derajat seorang muslim,
menurut Ahmadiyah, adalah sebuah dedikasi diri kepada Allah. Baik minoritas
seksual ataupun heteroseksual memiliki kapasitas yang sama untuk mendapatkan
kasih Allah. Sama halnya dengan derajat di ruang sosial, siapapun memiliki
kapasitas yang sama untuk bebas beraktivitas.
Ahmadiyah dengan perangkat
kemanusiaannya telah memberi ruang aman bagi minoritas seksual. Bukan hanya
bergerak di wilayah tafsir, tapi juga implementasinya di ruang sosial, di mana
bagian ini sering terjadi kontradiksi antara teks dan praktik.
Note: Wawancara ini dilakukan pada 23
Desember 2019 dan beberapa kali melakukan diskusi langsung dengan beberapa
Ahmadi pada Juli-Agustus 2019 di Bantul-Yogyakarta.
COMMENTS