Kisah itu menjadi catatan terakhirku. Sekuntum darah menjadi tinta suci kisah sejatiku.
Aku tak punya seorang di sampingku, barang satu, untuk mendengarkan apa yang yang menjadi keluh dan peluh. Tidak ada hal lain selain umpatan dan jeritan yang mendesak keluar dari kerak tenggorokan; namun selalu terhenti di ujung bibir yang mengering.
Satu-dua orang yang pernah kucoba
beri kisahku selalu menandas dengan ucapan moralis, dengan nada sadis.
Mereka kira seluruh orang yang mengidap masalah bisa ditakar dengan satu ukuran
mental dan moral.
![]() |
ESQNews |
Tapi kini, aku sudah mulai tenang, emosi dan umpatanku berhasil kuredam setelah kutemukan apa-apa yang mampu menerima kisahku. Mereka tidak pernah menandasku—sebaliknya—melentangkan lengan dan membasuh segala peluh.
Baca juga: Teka-Teki Rumah Berlampu Kuning
Tembok kamar yang cuil serupa kurap,
lantai sehangat lembah Sindoro-Sumbing, para tanaman yang kelainan fisik, gerombolan
cicak yang mendecak kelaparan tanda senasib, angin bisu yang selalu gagal
menembus kaus; mereka adalah kantong di mana kisahku tertampung. Tak pernah ada
tandasan moral, semua yang terucap mesti tertancap, seluruh kisah lusuh selalu
luruh. Lalu “Aku” menyisakan tubuh yang bersih dan siap terangkat melayang di
antara mekar kembang teratai.
Dua kakiku setengah terangkat, namun
gagal setelah angin bisu menampakkan kulminasi emosi tiba-tiba. Menyerang tembok
dan membuat cuilannya semakin melebar, menghujam lantai yang menjadikannya sedingin
beku, mengcak-acak cicak yang membelai nyamuk, menyerang tanaman yang kelainan
fisik dan menjadikannya kian lain, menusuk-nusuk sadis kaus tipisku. Pada
akhirnya mereka saling serang, saling hujat, berebut siapa yang paling layak
menjadi kantong sejati kisahku.
“Mereka hanya mengejar prestise kesejatian, sebenarnya tak ada sedikitpun terbesit keikhlasan, apalagi membantumu melayang di antara mekar kembang teratai,” bisikan mendayu-dayu di gendang telingaku.
Aku menunduk tertatih-tatih menghindari
keributan di dalam kamarku, memburu di mana bisikan itu menyembul. Mataku yang
digelayuti gajah berusaha sekuat tenaga menaruh pandangan pada wadah kaleng
suci di sudut meja. Sebilah pisau yang sedari awal tidak kulibatkan dalam sesi
kisahku, ternyata masih kokoh berdiri menentang angin. Mata pisaunya tak
sedikitpun menumpul. Kubiarkan keributan di kamarku, tak kupedulikan; sebilah
pisau dalam rengkuhanku menajam.
Baca juga: Bayi di Balik Ruang Kaca
Aku melayang di atas kembang teratai
sesuai janji sebilah pisau. Kutinggalkan secarik pesan di atas meja limapuluh
senti, yang kutulis dengan sekuntum tumpahan darah. Kumenunggu orang yang pertamakali
mengambil keputusan mendobrak pintu kamarku, dan meraih secarik pesanku. Akan
kuhadiahi sekantong kisahku yang sejati.[]
Yogyakarta,
15 September 2020
COMMENTS