Feminisme dan Islam di Indonesia bergerak di ranah isu keluarga, karena di sana pusaran patriarki bekerja.
Judul buku: Feminisme Muslim di Indonesia
Penulis : Alimatul Qibtiyah
Penerbit: Suara Muhammadiyah
Tahun Terbit: Maret 2019
Tebal: xx + 270 hlm.
ISBN: 978-602-6268-64-8
Penulis : Alimatul Qibtiyah
Penerbit: Suara Muhammadiyah
Tebal: xx + 270 hlm.
ISBN: 978-602-6268-64-8
Dewasa ini, feminisme tidak begitu mendapat ruang positif di tengah
masyarakat Indonesia, terlebih jika disandingkan dengan agama (Islam); seperti ada sekat tak terhingga antara
feminisme dan Islam. Kondisi tersebut didorong oleh stigma atau prasangka yang
lebih dahulu muncul daripada usaha untuk mengetahui apa itu feminisme, berkonfrontasi
atau ada kohesi dengan Islam?
Beberapa prasangka yang muncul terhadap
feminisme antara lain, feminisme mengajarkan untuk memusuhi laki-laki,
merupakan ajaran Barat, bertentangan dengan ajaran Islam, dan melawan kodrat
sebagai perempuan. Berbagai prasangka tersebut sebagian besar dilandasi oleh
pemahaman nilai agama secara konvensional-literal-konservatif.
![]() |
serikat news |
Ide mengkonfrontasikan antara feminisme dan
Islam barangkali membuat Alimatul Qibtiyah gusar, sehingga perlu untuk menuliskan
buku Feminisme Muslim di Indonesia, sebagai usaha menegosiasikan antara feminsime
dan Islam. Buku tersebut terdiri dari tiga bagian yang di dalamnya mengandung
sebelas bab. Bagian pertama membahas wacana feminisme Muslim di Indonesia,
bagian kedua membahas negosiasi isu-isu gender dalam Islam, sedangkan bagian
ketiga berusaha mewacanakan feminisme di Indonesia dengan melibatkan isu
keluarga dalam Islam.
Baca juga: Female Genital Multilation: Perspektif Ham, Medis dan Agama
Buku tersebut merupakan hasil penelitiannya di
Pusat Studi Wanita/Gender (PSW/PSG) yang berada di setiap universitas di
Yogyakarta; lalu mengklasifikasikannya berdasarkan universitas berbasis Islam dan
sekuler; setelah itu diklasifikasikan lagi berdasarkan jenis kelamin. Menurut
Qibtiyah, pengklasifikasian tersebut perlu karena level akses kepada ajaran
Islam di ruang akademik memengaruhi pemahaman anggota PSW/PSG dalam menanggapi
isu feminisme dan Islam; sedangkan klasifikasi berdasarkan jenis kelamin berpengaruh
terhadap jawaban seputar isu keluarga dan relasi di dalamnya—berdasarkan
pengalaman dan psikologi. (h. 50)
Dari pengklasifikasian tersebut tidak
didapatkan perbedaan pendapat secara signifikan, alasan yang paling
memungkinkan adalah basis aktivisme yang sama, yaitu menggunakan perspektif
gender sebagai dasar aktivismenya. Sedangkan alasan yang mendekati kenapa ada
perbedaan pendapat sesama feminis/aktivis gender adalah perbedaan cara pandang
dalam memahami teks agama dan kontekstualisasinya. Selain itu, domain biologis
dan psikologis juga menjadi faktor diferensial.
Menubuhkan Feminisme dan Islam di
Indonesia
Qibtiyah membedakan antara feminisme Islam dan
feminis Muslim. Ia mengacu pada pendapat Miriam Cook tentang keduanya; yaitu—feminisme
Islam—menunjukkan tradisi Islam sebagai landasan pertimbangana feminisme; sedangkan
feminis Muslim lebih karena seseorang beragama Islam namun tidak menggabungkan
ajaran Islam dengan feminismenya. (h. 7)
![]() |
eurekastreet.com |
Qibtiyah menambahkan konteks Indonesia untuk memperteguh warna feminisme Muslim di Indonesia. Menurutnya, feminis Muslim harus melibatkan Alquran dan Hadis jika ingin feminisme diterima (lebih mudah) oleh masyarakat Indonesia. Menyertakan teori nuzulul qur’an, hermeunetik, dan kajian historisitas Alquran untuk mengharmonikan feminisme dan Islam. Dengan begitu, misi mempromosikan kesetaraan gender lebih mudah ditempuh.
Baca juga: Donna Haraway: Cyborg dan Lamunannya Tentang Ide Feminisme yang Utopis
Karena feminis harus menegosiasikan isu gender
dengan teks agama, Qibtiyah membagi tiga kelompok feminis berdasakan cara
pandang mereka terhadap teks. Pertama adalah kelompok literalis, yaitu mereka
yang berpegang pada keyakinan bahwa Islam adalah keluarga yang sempurna. Oleh
karenanya, Muslim tidak harus menafsirkan kembali ayat-ayat Alquran dengan
menyesuaikannya dengan konteks hari ini. Apalagi mengaitkannya dengan feminisme
dan gender, menurut mereka itu merupakan produk Barat dan bertentangan dengan
Islam.
Kedua adalah
kelompok moderat. Kelompok ini berorientasi menerima gagasan feminis sepanjang
tidak bertentangan dengan nilai Islam yang mendasar. Mereka juga menganggap
bahwa tidak semua gagasan feminis berasal dari Barat, tetapi memang sebagian
sudah ada dalam Islam. Pandangan kelompok moderat juga memercayai bahwa Islam
juga mempunyai landasan dalam menyelesaikan persoalan ketimpangan gender.
Kelompok ini memiliki pandangan yang sama dengan kelompok literalis, yang
mengakui Islam adalah agama yang sempurna. Namun kelompok moderat masih mempertimbangkan
aspek kontekstual dalam memahami persoalan, tidak selalu bersifat harfiah.
Ketiga adalah
kelompok progresif/kontekstualis. Kelompok ini secara mutlak mendukung
kesetaraan gender di segala aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Misalnya dalam keluarga, gagasan kelompok ini adalah tidak ada hierarki di
dalam keluarga. Qibtiyah mengutip Musdah Mulia, bahwa hierarki hanya ada antara
Tuhan sebagai Khaliq dan manusia sebagai makhluq (laki-laki dan
prempuan). Dengan demikian, tidak ada hierarki di antara ciptaan Tuhan, semua
berada di garis yang sama di hadapan Tuhan.
Kelompok progresif/kontekstualis juga
berkeyakinan bahwa dalam pengkodifikasian hukum Islam (fikih) pada abad X
beberapa ahli fikih sengaja menciptakan hukum Islam untuk membatasi aktivitas
publik perempuan, tujuannya untuk mempertahankan sistem patriarki. Awal
pengkodifikasian itu menjadi tonggak bertahannya bias gender dalam masyarakat
melalui tafsir dan hukum, sehingga kelompok ini perlu untuk mengintervensi
dalam tafsir dan produk hukum agar tercipta pandangan yang berkesetaraan gender.
(h.95-97)
Ketiga kelompok tersebut digunakan oleh Qibtiyah untuk
memetakan cara pandang aktivisme PSW/PSG terhadap isu keluarga Islam di
Indonesia. Maka jelaslah, bahwa cara pandang Muslim dalam menanggapi persoalan
gender tidaklah tunggal. Beberapa dari mereka ada yang menggunakan Islam
sebagai acuan untuk mengevaluasi paradigma Barat perihal gender dan feminisme,
ada juga yang berusaha mengembangkan Islam dan feminisme dalam konteks
Indonesia.
Pengelompokan cara pandang tersebut beroperasi
pada sembilan isu keluarga yang dihadirkan Qibtiyah; yaitu pembagian peran yang
setara dalam rumah tangga (domestik-publik), kesetaraan hak seksual, setara
dalam membuat keputusan, setara dalam hak waris, setara sebagai saksi, setara
secara simbolik dalam kisah penciptaan, poligami, status perempuan yang setara,
hak perempuan untuk memimpin salat berjamaah.
Cara pandang responden dalam menanggapi
sembilan isu tersebut sebagian besar menggunakan cara pandang moderat dan
progresif. Ada yang menggunakan cara pandang literalis, yaitu pada isu hak perempuan
dalam memimpin salat berjamaah, namun hanya satu responden.
Mengukir Wajah Feminisme Muslim di
Indonesia
Berangkat dari ide mewujudkan generasi emas
Indonesia tahun 2045, Qibtiyah yakin bahwa tonggak generasi emas itu berada pada
level keluarga. Oleh karenanya, ia mengusulkan kepada feminis untuk ikut
menyelesaikan isu keluarga Islam, karena mayoritas masyarakat Indonesia menjadikan
Islam sebagai acuan nilai dalam bernegara dan bersosial. Paling tidak ikut
mewacanakan kesetaraan gender dalam sembilan isu tersebut, di mana isu-isu itu
masih didominasi oleh pikiran maskulin-patriarki. (h. 193)
![]() |
magdalene.co |
Itulah yang dilakukan oleh PSW/PSG melalui
setiap programnya, mereka lebih banyak mengerjakan isu gender daripada
feminisme. Hal tersebut berkaitan dengan istilah feminis yang mendapat
stereotipe oleh masyarakat. Dan sebagian dari mereka—terutama perempuan—memilih
menggunakan istilah aktivis gender, atau menggunakan istilah feminis Muslim
untuk mereduksi anggapan masyarakat bahwa feminis dan Islam tidak bisa berjalan
beriringan.
Baca juga: Memahami Kartini di Era Posmodern
Feminis Muslim, feminis Islam, aktivis gender,
atau pemberdaya perempuan adalah beberapa istilah yang disebut dan dipilih oleh
responden sebagai identitas diri. Dengan begitu, mereka bisa mengintervensi isu-isu
gender dalam keluarga Islam dengan perspektif gender dan feminisme.
Dalam buku tersebut, wajah feminis Muslim di Indoenesia bergerak di seputar isu gender dalam keluarga. Qibtiyah mengharapkan para aktivis gender (PSW/PSG) bisa mengadopsi pandangan progresif/kontekstualis dalam menanggapi isu gender dalam keluarga Islam. Dengan begitu, perangkat yang diperlukan juga harus disiapkan, antara lain memahami ayat-ayat Alquran, hadis, teori asbab an-Nuzul, hermeunetik, kajian historisitas Alquran; dus, feminis Muslim bukan hanya bergerak di dalam program-program akademik, tapi juga ikut berdialektika dalam tafsir kontemporer untuk ikut menggelindingkan wacana tandingan atas wacana ortodoks tentang keluarga Islam.[]
COMMENTS