Hidup dalam dunia modern tidak menjamin perempuan hidup layak. Bias gender tetap menyengsarakan mereka.
Perempuan
memimpin perusahaan, menjadi hakim, menjadi politisi; adalah beberapa cerminan
perkembangan posisi perempuan di masyarakat. Sebelumnya, perempuan “hanya”
melakukan pekerjaan domestik, dan tertempel stigma negatif ketika beraktivitas di ruang publik. Namun sejak abad ke-20, daya tawar dan peran
perempuan telah mengalami perubahan besar—bukan berarti semua persoalan
selesai. Mereka mulai melakukan apa yang “umumnya” dilakukan laki-laki.
![]() |
kompasiana.com |
Beberapa hal di
atas mungkin terlalu elit atau modern bagi beberapa orang. Kita bisa
menengok di desa-desa, bagaimana fenomena tersebut juga terjadi di sana.
Misalnya istri yang memutuskan menjadi TKW, mau tidak mau pekerjaan domestik
dilakukan oleh laki-laki/suami; atau suami dan istri sama-sama bekerja sebagai
nelayan, menjadi petani, berdagang di pasar. Artinya, perempuan dan laki-laki
bisa saling bersepakat menjalankan peran mereka.
Sedikit contoh
tersebut adalah potret sosial. Sebuah fenomena tentang masyarakat yang bisa dan
memungkinkan untuk bertukar peran antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan sehari-hari. Inilah yang disebut sebagai gender, adalah perbedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari peran sosial mereka.
Gender bukan taken
for granted atau kodrat, melainkan hasil dari konstruksi masyarakat,
bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan perempuan. Dan karenanya, relasi kuasa
memiliki intervensi besar dalam membentuk sistem/rezim gender.
Hasil dari
pengenderan laki/perempuan adalah adanya sifat feminin dan maskulin. Apa yang
diasosiasikan sebagai feminin biasanya dikaitkan dengan perempuan, sedangkan
maskulin dikaitkan dengan laki-laki.
Contoh sifat
feminin adalah menangis, lemah lembut, merawat, pengasuhan, dipimpin, dan
masyarakat menganggap sifat tersebut selayaknya dimiliki oleh perempuan. Tentu
berbeda dengan laki-laki, di mana mereka dikonstruksi untuk memiliki sifat
maskulin; seperti berkelahi, memiliki otot besar, pekerja keras, mencari
nafkah, memimpin. Dengan begitu, adanya konstruksi gender adalah untuk
mempertentangkan antara laki-laki dan perempuan agar bisa dibedakan dari segi
sosialnya.
Dari adanya
pengenderan tersebut, maka terciptalah pembagian kerja berdasarkan gender. Tak
asing lagi dengan anggapan perempuan memiliki kewajiban mencuci, memasak, dan
mengurus segala kebutuhan domestik; dan laki-laki karena sifat maskulinnya
dianggap berkewajiban mencari nafkah utama, memimpin, dan melakukan urusan yang
berbau rasional.
Jika masyarakat
menemukan anomali dari peran gender, maka akan dianggap sebagai penyimpangan,
misalnya perempuan memimpin, laki-laki mencuci, dan lain sejenisnya dilabeli
sebagai melanggar kodrat. Pada dasarnya pertukaran tersebut tidak menjadi
masalah, karena itu adalah bagian dari peran sosial, yang setiap jenis kelamin
memiliki kapasitas yang sama untuk melakukannya.
Maka dapat diambil
pengertian, bahwa gender berbeda dengan sex (jenis kelamin). Gender
merupakan konstruksi (bukan kodrat) dan bisa berubah-ubah, sedangkan seks
adalah identitas laki-laki dan perempuan berdasarkan kondisi biologisnya
(laki-laki memiliki penis dan perempuan memiliki vagina, kodrat).
![]() |
stakeholderorgm.file.wordpress.com |
Di sini letak
diskriminasi terhadap perempuan: ruang domestik tetap pekerjaan perempuan,
sedangkan publik bisa keduanya. Padahal dua ruang tersebut bisa dikerjakan dan
dipertukarkan oleh keduanya. Dengan demikian, ada pengenderan ruang domestik,
yaitu perempuan.
Dua elemen di
atas (gender dan seks) juga yang memunculkan gender gap (kesenjangan
gender), yaitu adanya pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara biologis
dalam melakukan aktivitas sosialnya; sehingga muncullah marginalisasi,
diskriminasi, kekerasan, beban kerja yang tidak seimbang, ketidakadilan, dan
subordinasi yang umumnya dialami perempuan.
Kesenjangan gender
dalam dunia modern banyak dijumpai sekarang ini. Ambil saja contoh dominannya
perempuan yang mengakses dunia industri. Feminisme liberal mungkin cukup puas
dengan capaian perempuan tersebut. Tapi, feminisme marxis/sosialis akan
menentang itu sebagai capaian tertinggi perempuan. Sebab, perempuan yang hidup
di tengah kapitalisme (dunia industri) akan dimanfaatkan sebagai tenaga
cadangan.
Mereka memang
mengakses ruang publik, namun hal tersebut akan membuat perempuan memiliki
beban ganda. Pasalnya ketika sampai di rumah, tugas domestik tetap menjadi
pekerjaan perempuan. Dengan kata lain, emansipasi perempuan di ruang publik
hanya akan menghasilkan beban berlebih selama tidak ada emansipasi laki-laki di
ruang domestik.
Segregasi seks
dalam dunia kerja memang sengaja diberlakukan oleh kapitalisme untuk membuat
perempuan tak berdaya. Kesetaraan yang dikampanyekan kapitalis hanya sebatas
akses dunia kerja, bukan setara dalam upah dan beban kerja. Dan semua itu
menjadi surplus bagi kapitalis.
Kendati perempuan
masuk dalam sistem industri, namun beban domestik terpisah dari tanggung jawab dunia
industri (bukan dianggap pekerjaan dan tidak ada upah). Perempuan tetap
mengurus wilayah domestik ketika pulang kerja. Artinya, ia menjadi koloni
internal dalam sistem kapitalisme; dan budaya patriarki dalam unit terkecil
negara: keluarga, menjadi tangan kanan kapitalisme.
Sistem kerja yang
buta gender tentu sangat merugikan bagi perempuan secara khusus; dan umumnya
seluruh lapisan masyarakat yang merasa kapitalisme sebagai pengikis
kemanusiaan. Peringatan bagi laki-laki yang masih menolak bahwa pekerjaan
domestik adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki manusia untuk bertahan
hidup, seharusnya sedari dini menyiapkan lubang galian untuk mayatnya sendiri. Sebab,
menggali lubang adalah pekerjaan maskulin!
COMMENTS