Sastra datang dari ruang yang sesak, maka ia tidak pernah netral!
![]() |
ilustrasi: inilahbanten.co.id |
Karya sastra tidaklah tercipta dari ruang hampa,
sebaliknya, ia lahir melewati gejolak di tengah masyarakat. Dengan demikian, pengarang berusaha memberi pengaruh melalui karya yang diciptakan. Okky Madasari, dalam Genealogi
Sastra Indonesia, menyebut karya sastra dibentuk dan dipengaruhi oleh
realita masyarakat dan kemudian ikut membentuk realita sosial. Oleh karenanya,
menyebut sastra sebagai karya yang netral adalah naif; mengacu Foucault, karya
sastra adalah diskursus.
Dalam sejarahnya, karya sastra juga turut andil dalam menormalisasi
kekerasan, tepatnya menormalkan kekerasan 1965-66. Wijaya Herlambang merekamnya
dalam buku Kekerasan Budaya Pasca 1965. Ia menghimpun sepuluh cerpen
yang terbit antara 1966-70.
Sepuluh cerpen tersebut, menurut catatan Herlambang, bertujuan memanipulasi gagasan humanisme agar pembaca bersimpati kepada para pembunuh ketimbang kepada para korban pembunuhan.
Pada setiap cerita,
pengarang memunculkan tokoh yang memiliki kerangka pikir humanisme universal
yang mengacu pada manifes kebudayaan 1963, yaitu mengakui kebebasan seseorang
dalam berekspresi: meskipun menolak atas ide yang dimunculkan, tapi “cahaya
Ilahi” dalam diri manusia harus tetap diselamatkan.
Salah satu contoh dalam cerita, yaitu tokoh bernama
Wimbadi yang memiliki pandangan humanisme universal, tapi meletakkannya di atas
kerangka pikir anti-komunisme. Wimbadi berusaha menyelamatkan lingkungannya dari
ancaman komunisme, dengan begitu pembunuhan terhadap komunis dianggap sah.
Namun di saat yang sama, dalam cerita memunculkan
tokoh Soes yang digambarkan memiliki gagasan humanisme dengan bumbu konflik
psikologis. Soes merasa kasihan dengan adik dan keponakannya jika harus
membunuh Kuslan yang komunis. Akhirnya keputusan Soes tetap membunuh Kuslan
setelah mendapat masukan oleh Hari dengan motif keyakinan agama. Nilai moril
digunakan dalam meyakinkan Soes, bahwa membunuh komunis dalam sudut pandang
agama adalah halal.
Alih-alih menumbuhkan humanisme dan mengungkap
kekejian politik Orde Baru, karya sastra tersebut malah mengandung pesan
subliminal bagi pembaca. Pesan dalam cerita-cerita tersebut berusaha menormalisasi
kekerasan terhadap komunis. Tokoh dimunculkan rasa empatinya terhadap korban
pembantaian, namun nilai moral (membunuh komunis) menjadi pilihan terakhir
tokoh demi menyelamatkan “humanisme universal”.
Cara pengarang memanipulasi persepsi pembaca adalah
dengan meletakkan “tragedi” bukan kepada korban, tapi kepada pelaku kekerasan
berdasarkan konflik psikologis.
Akhirnya pengarang berhasil membawa pikiran pembaca,
bahwa problem yang sesungguhnya adalah yang dialami pembunuh, bukan korban
pembunuhan. Pembaca dipaksa untuk meresapi posisi seorang pembunuh yang mengalami
dilema moral: jika membunuh komunis, ia bertentangan dengan humanisme; tapi
jika tidak membunuhnya, nilai moral (agama) terancam oleh keberadaan komunis.
Dalam cerita-cerita tersebut pengarang tidak
menjadikan pembantaian massal sebagai pusat perhatian cerita, melainkan menggiring
peristiwa kemanusiaan menjadi tragedi yang normal melalui cerita. Humanisme
berhasil dimanipulasi menggunakan konflik psikologis. Dus, kekerasan 1965-66
menjadi sah di pikiran para pembaca hingga menjadi diskursus yang dominan
sampai sekarang.[]
____________________________________________________________
Artikel ini pernah terbit di e-Koran Telusur van Java edisi 60 11 Agustus 2020 dengan judul "Kala Sastra Menjadi Alat Normalisasi Kekerasan 1965-66".
.
COMMENTS